Gejolak saya meningkat setiap kali melihat pengumuman akan adanya lomba karya tulis. Semenjak kecil saya emang doyan dengan kegiatan seperti ini, peserta tinggal ngirim ide, memperbaiki penulisan, lolos siap presentasi, dan pulang membawa kemenangan. Ohyeah, saya masih ingat setiap kompetisi yang berhasil saya menangkan.
Awalnya, saya hanya mengincar hadiah sebagai sesuatu yang ingin saya capai dari mengikuti perlombaan. Maklum, dari pertama ikutan lomba saya ketagihan ikut gara-gara hadiahnya gede. Ga bisa dipungkiri memang kalau manusia selalu membutuhkan materi, hhi *ngeles. Setelah berkali-kali ikut lomba, sampai pada beberapa titik saya stagnan. Alias sejak tahun 2010 belum sekalipun saya mengirimkan karya tulis ke berbagai perlombaan. Nampaknya otak saya perlu diajak ngebut lagi nih. Dan selidik punya selidik, sebenarnya kegiatan seperti ini lebih kepada simbiosis mutualisme antara panitia dan penyelenggara. Emang gimana? Cekidot!
Rata-rata lomba yang saya ikuti diadakan oleh Dikti, Lipi, atau badan lain yang mempunyai urusan di bidang ini. But somehow, kadang pemerintah mengadakan acara perlombaan karya tulis ini. Entah bukan bermaksud merendahkan mereka, tetapi saya rasa pemerintah sudah kehilangan akal, atau dalihnya sih mereka ingin memaksimalkan potensi kreativitas yang dimiliki oleh pelajar/mahasiswa di seluruh pelosok negeri, hhe. Dan akhir-akhir ini memang kompetisi banyak yang memilih tema seputar lingkungan, ga masalah karena ini cukup dirasa urgent buat kita.
Kami sebagai pelajar tentu saja sangat suka bila diberi kesempatan berkarya yang positif, salah satunya lewat kegiatan seperti ini. Well, bukan cuma hadiah dalam bentuk uang tetapi juga sertifikat penghargaan dan ‘nama besar’ ketika kita berhasil masuk koran atau seenggaknya nyatut di internet lah, hha. Selain dapat pengalaman baru, ilmu baru, dan rekan baru . Artinya kegiatan ini memang sangat disarankan untuk diikuti oleh pelajar. Dan tindaklanjutnya? Nah ini yang menarik untuk dibahas.
Sesungguhnya kreasi dari peserta lomba sangatlah banyak dan beragam. Tes menjadi finalis sebenarnya merupakan tes ide, di mana ide yang kreatif, solutif, dan aplikatif adalah yang dipilih untuk selanjutnya memperebutkan yang terbaik. Nah, lanjut ke babak final yang menentukan adalah kesiapan peserta terutama di dalam presentasi mereka. Sebagus apa pun ide tapi penyampaiannya kurang greget dan tidak menarik, takkan juara. Ohya perlu diingat, banyak orang yang kaget begitu tahu yang menang ternyata ga punya ide yang bagus-bagus amat, but that’s the final, siapa yang siap dia yang menang. Ide bagus dengan penyampaian biasa ya hasilnya biasa, Lain lagi dengan ide revolusioner yang disampaikan secara interaktif, sudah pasti mendapat tempat di hati sang juri. Namun, justru di sinilah mandeknya ide tersebut.
Pengalaman saya ketika kelas 3 SMP saya mengikuti lomba tentang lingkungan hidup, sub temanya adalah pemanfaatan dan penataan tata kota sebagai sinergi dengan kemajuan bidang-bidang lainnya. Alhamdulillah saya mendapat juara 1, idenya tidak keren-keren banget, cuma tentang menata ruang kota efisien dengan pemanfaatan lahan hijau secara maksimal untuk memberi ruang bernafas. Berjalannya waktu toh ide saya itu tidak diimplementasikan oleh pemerintah, malah kayanya mungkin pemerintahan yang baru siap-siap bikin acar seperti itu lagi, ckck.
Yang saya khawatirkan adalah, perlombaan semacam ini hanyalah akal-akalan untuk sebuah proyek semata tanpa adanya realisasi. Kalau pun ada, dalam kasus saya, harusnya saya dipanggil untuk menjelaskan lebih detail mengenai ide tersebut untuk selanjutnya diimplementasikan oleh pejabat berwenang dalam mengatasi problema yang bersangkutan. Namun toh seperti tidak ada kelanjutannya. Istilahnya kaya sinetron rampungnya naggung gitu aja.
Tak masalah bagi saya pribadi, cuma apa ga useless menggelar kompetisi yang diminati banyak orang, banyak ide-ide kreatif terkumpul. Ujung-ujungnya mentok di proposal, alasannya klise : ga ada dana. Lah, kalau gitu kasian idenya mas, dianggurin gitu aj. Ketakutan lain, dana buat acara ini yang selama ini bikin uang rakyat cepat habis. Mengadakan acara yang imbasnya ga bisa secara langsung dirasain masyarakat, then lain waktu mengadakan acara serupa lagi setelah pemerintahnya ganti lagi. Sungguh tak pantas dilakukan.
Mungkin itu hanya terjadi di daerah saya di pelosok Jawa Tengah sana, bukan di seluruh Indonesia. Saya hanya tidak ingin kreativitas, usaha, dan kerja keras kami dalam berkontribusi ini sia-sia. Kami juga bagian dari masyarakat yang ingin terus maju dengan segala hambatan dan tantangan yang ada. Alangkah baiknya bila pemerintah setempat ataupun penyelenggara kompetisi untuk lebh serius menindalanjuti hal-hal semacam ini (ga semua kompetisi kok).
No comments:
Post a Comment