“Bersekolah itu sama artinya menikmati penindasan!”. Ujaran pedas ini bukan diungkap oleh Paulo Freire, filsuf pendidikan asal Brasil yang kondang dengan buku “Pendidikan Bagi Kaum Tertindas” itu. Bukan pula datang dari mulut para pakar kurikulum pendidikan di tanah air, apalagi menteri pendidikan, melainkan dari seorang mantan pengelola serikat tani di Salatiga. Ia, Bahruddin namanya, adalah lulusan sekolah tinggi agama di Semarang. Dan ia merasa pernah menjadi salah seorang korban penindasan.
Apanya sih yang menindas dari sekolah? Barangkali pertanyaan itu yang memberontak di pikiran kita. Sekolah kan asik-asik saja. Nongkrong, pacaran, nge-band, sesekali kelahi, nyontek, ngerjain guru atau dosen. Everything’s so fun. Lantas, sekali lagi, apanya yang menindas? Kalau pertanyaan ini ditujukan ke Bahruddin, maka ia punya jawaban tegas: sistemnya!
What system? Sistem yang kayak apa? O ho, ternyata sistem pengajaran yang membuat para siswa menjadi tukang hapal. Sistem transfer pengetahuan yang sepihak. Sistem evaluasi yang menempatkan guru sebagai satu-satunya otoritas kebenaran. Sistem pengelolaan biaya tinggi yang memapas kemungkinan orang miskin mendapat pendidikan yang berkualitas. Itu beberapa diantaranya.
Berangkat dari kesadaran itu, Bahruddin pun menyiapkan perangkat perlawanan. Bukan dengan kelebat kelewang, tidak juga letus senapan. Alih-alih dia membangun sebuah SLTP alternatif di tanah kelahirannya, Desa Kalibening, sekitar 6 kilometer arah timur kota Salatiga. Diberinya nama Qaryah Thoyyibah, yang artinya “desa yang permai”, mengikut nama serikat tani yang pernah dikelolanya. Kelas pertama dimulai tahun 2003 dengan hanya 12 murid dari Kalibening, termasuk Hilmi, anak pertamanya.
Melawan sekolah kok dengan sekolah? Jika muncul pertanyaan serupa itu, begini jawabannya: Qaryah Thoyibbah (QT) dikelola dengan cara berbeda. Dengan pemikiran bahwa yang kesalahan terbesar dari insitusi sekolah adalah sistem pengelolaan dan pengajarannya, Bahruddin dan pengelola lainnya mengintrodusir pendekatan baru dalam proses ajar-mengajar dan pengelolaannya. Salah satu terobosan orisinilnya adalah dengan memanfaatkan rumah tinggal sebagai sekolah dan mengisi ruang kelas dengan sejumlah komputer yang terhubung dengan internet 24 jam !
Gedung sekolah yang memanfaatkan sebagian dari bangunan rumah Bahruddin, juga bekas kantor serikat tani, terletak di tengah pemukiman berdekatan dengan rumah para siswa sehingga mereka tak perlu mengeluarkan biaya transport. Pengelola melengkapi siswanya dengan gitar dan kamus bahasa Inggris serta memberi kesempatan siswanya untuk menyicil pembelian komputer. Untuk semua itu, orang tua siswa hanya “dibebani” iuran bulanan Rp 20.000 plus uang saku harian Rp 3000. Jumlah ini pun ditentukan berdasar kesepakatan bersama antara pengelola sekolah dan orang tua siswa.
Setiap hari, Senin sampai Sabtu, QT memulai aktifitasnya sejak pukul 6 pagi dengan Coffee Morning, sebuah kelas wicara dalam bahasa Inggris. Jam 7 mereka berhenti untuk sarapan pagi di rumah salah seorang penduduk yang dipesan untuk menyediakan makan pagi secara bergilir. Cara ini dilakukan untuk mendekatkan siswa QT dengan orang-orang di lingkungan mereka. Jam-jam berikutnya adalah petualangan pengetahuan. Para guru di QT, yang mengajar dengan sukarela, diposisikan bukan sebagai pengajar melainkan fasilitator. Pengetahuan bukan ditransfer, melainkan dicari dan didiskusikan bersama. Dalam evaluasi, pemahaman lebih diutamakan dibanding kemampuan menghapal. Dalam proses pembelajaran, kepercayaan diri, kegairahan dan kegembiraan belajar yang ditumbuhkan. Bukannya bentakan merendahkan, dikte dan tekanan.
Hasilnya, siswa-siswa SLTP QT menduduki ranking teratas di Salatiga. Bahasa Inggris mereka cas cis cus. Musik pada lumayan jago, bahkan mereka telah menghasilakn beberapa kaset rekaman dan video musik kompilasi lagu-lagu daerah yang juga menampilkan Bupati Semarang. Menurut penelitian seorang pakar IT dari Jepang, optimalisasi pemakaian internet untuk pendidikan di QT termasuk tujuh terbaik di dunia. Yang menarik, meski telah berwawasan global para siswa tidak tercerabut dari lingkungannya.
Bahruddin, bersama banyak pihak yang mendukung gerak dan pemikirannya, telah membuktikan bahwa perbaikan sistemlah yang akan menyehatkan institusi sekolah, bukannya gonta-ganti menteri, kurikulum apalagi warna sepatu! Mungkin QT inilah jawaban dari kekuatiran terjerumusnya pendidikan Indonesia pada, meminjam istilah ahli pendidikan Jerman Kurt Singer, praktek pedagogi hitam: pendidikan sekolah yang membuat siswa tertekan, tertindas dan kehilangan kepercayaan diri untuk belajar! Selamat belajar dari Salatiga…
No comments:
Post a Comment