Penguasa Yang Terganggu Panca Inderanya
Sistem peradilan saat ini tidak seimbang dan malah berat sebelah. Faktanya tindak kriminalitas bagaimana bentuknyapun kini merajalela. Para tersangkanya bukan lagi orang – orang kecil yang mencoba mengisi perut sehingga terpaksa berbuat kejahatan, tetapi orang – orang besar yang didalamnya mencakup para pejabat pemerintahan yang melakukan suatu kejahatan sampai menyengsarakan rakyat. Tragis memang ketika seharusnya mereka menjadi tauladan dan menjadi orang tua yang membimbing serta melindungi rakyatnya tapi malah menjerumuskan rakyat itu sendiri. Mereka mencuri serta memakan uang rakyat untuk kepentingannya sendiri dan bukan untuk memfasilitasi rakya,t padahal tidak sedikit mereka di gaji, banyak uang yang lebih daripada cukup untuk membiayai kehidupannys serta menafkahi keluarganya. Tetapi mengapa mereka masih saja melakukan tindak korupsi? Hal itu semata mata karena kerakusan mereka dan kesewenang – wenangan terhadap kekuasan yang dimiliki. Atau bisa juga karena mata hati mereka sudah terlalu terbeli dengan uang sehingga merteka tidak lagi peka terhadap permasalahan – permasalahan sosial. Mereka acuh terhadap penderitaan rakyat yang jelas – jelas terpampang di depan mata mereka serta tidak mendengar jeritan – jeritan rakyat. Entah tuli pendengarannya atau tidak mau mendengar. Pendengaran mereka digunakan untuk mendengar hal – hal yang dapat menguntungkan mereka saja. Tapi diluar daripada itu mereka mendadak tuli. Tuli yang dibuat – buat seakan mereka tidak pernah mengetahui apa – apa padahal sangat jelas kebisingan terjadi. Mungkin mereka perlu alat pendengaran agar telinga mereka menjadi baik kembali fungsinya. Mereka para pemimpin bukanlah orang – orang yang bodoh melainkan kaum intelektual yang mengenyam pendidikan tinggi sampai ke luar negeri tetapi otak mereka yang pintar di belokan fungsinya dan membentuk sikap serta sifat yang bodoh. Mereka tidak lagi memanfaatkan kecerdasan mereka untuk menangani kemiskinan rakyat tapi bersusah payah memutar otak untuk bagaimana caranya memperkaya diri mereka sehingga tanggungjawab utama mereka terabaikan. Bukankah itu suatu hal yang mubazir ketika mereka tidak menyadari kekayaan yang sebenarnya akan diperoleh saat mereka berbuat kebaikan dan bukan kezholiman. Kekayan hati yang balasannya berupa kekayaan amal untuk bekal saat sudah tiba waktunya menghadap ilahi. Melihat realisasi yang ada panca indera para penguasa tersebut menjadi tidak normal katika sudah dihadapkan dengan uang. Mata hati yang tertutup. Telinga yang Tuli. Ucapan yang tidak membuktikan janji – janji mereka. Serta tindakan yang semena – mena. keadaan sosial saat ini diketahui bahwa kejujuran telah menjadi sesuatu yang langka. Sudah jarang atau mungkin tidak ada lagi pemimpin yang jujur. Pemimpin yang melaksanakan amanat rakyat.
Maling Kecil yang Di Besar – Besarkan
Negara Indonesia adalah negara hukum. Pernyatan tersebut tertuang dalam Undang – Undang. Tapi hukum yang seperti apa yang selama ini di terapkan? Itu yang menjadi pertanyaan. Ketika terdapat kasus maling kecil dampaknya akan tetap besar bahkan terlampau besar untuk kriminalitas sekecil itu. Bahkan masyarakat sendiri yang akan mengadili mereka para pelaku kejahatan sehingga timbul istilah main hakim sendiri. Bagaimana bisa orang yang dengan kasus “mencuri sendal jepit” misal, akan di adili oleh masyarakat berupa bulan – bulanan akibat dari kemurkaan mereka. Setelah di adili seperti itu bahkan ada juga kasus yang sampai membakar hidup – hidup pelaku maling. Begitulah sistem hukum pada masyarakat. Sangat sepele ketika yang menjadi objek pencurian hanya berupa “Sendal Jepit” tapi mereka para penguasa yang mencuri uang rakyat sampai pada bermilyar – milyar rupiah mendapat penangguhan penahanan bahkan lepas dari jeratan hukum. Kalaupun harus masuk penjara mereka akan terjebloskan ke penjara yang fasilitasnya standar hotel bintang lima. Bertelevisi. Ber-AC. Ber-Toilet bersih. Dan mereka dapat mengendalikan hukum dengan uang yang mereka miliki. Jaksa dan hakim yang tidak lagi adil. Terbayang apabila mereka para koruptor di adili masyarakat. Caci, maki, sumpah serapah, hantaman kekesalan, ludah, hajar, tinju sampai bakar hidup – hidup akan mereka alami. Itu sangatlah pantas apabila melihat dari apa yang telah mereka lakukan. Luapan kekesalan serta murka masyarakat yang teramat mengutuk mereka merupakan hal yang amat sangat wajar. Kasus lainnya yang telah banyak orang ketahui adalah nun jauh disana seorang nenek - nenek berusia lebih diatas 50 tahun yang hanya memungut tiga buah kakao menerima hukuman satu setengah bulan penjara. Memang hanya tahanan kota tapi jika kita melihat dari sisi kacamata lain itu menjadi hal yang sangat tidak adil karena nenek tersebut bahkan tidak mencuri dan hanya memungut buah yang jatuh ke tanah tapi bandingkan dengan penguasa yang korupsi dengan nominal yang tidak sedikit hanya mendapat hukuman penangguhan tahanan. Itu bukanlah sebuah hukuman malah. Apalah artinya tiga buah kakao yang apabila di rupiahkan hanya berkisar dua ribu rupiah dengan uang rakyat yang di korupsi sampai bermilyar – milyar rupiah. Kasus lainnya ketika dua orang bapak – bapak yang dipergoki mencuri buah semangka. Konsekuensi apa yang mereka peroleh? Di hajar habis – habisan sampai di laporkan kepada polisi. Mereka merintih – rintih meminta maaf tapi tidak didengarkan. Mereka yang tidak sama sekali mengerti hukum masuk ke dalam ruang persidangan tanpa dampingan seorang pengacara. Bagaimana bisa mereka menyewa pengacara sedangkan untuk mengisi perut saja susah. Tragis bukan apalagi melihat ancaman hukuman yang akan mereka peroleh tidak tanggung – tanggung, lima tahun penjara. Padahal diluar sana mereka masih mempunyai tanggungjawab kepada keluarga mereka. Mereka mempunyai anak istri yang entah bagaimana hidupnya nanti ketika tulang punggung keluarganya masuk kedalam penjara. Seperti itulah apabila hukum masyarakat telah berbicara, tidak mengenal kata kompromi, tidak pandang bulu, status sosial, derajat, bahkan usia. Lain halnya dengan ketika uang yang berbicara. Koruptor yang dengan bukti kongkrit tertuju padanya lolos dengan sangat licin dari jeratan hukum. Koruptor yang telah dijadikan sebagai tersangka bukannya di adili malah di jadikan anggota DPR RI dan tiba – tiba lepas begitu saja dari hukuman yang seharusnya diterimanya. Ada apa dengan sistem hukum di negara ini? Maling kecil diadili dengan begitu seadil – adilnya tetapi maling besar dilindungi. Semua itu tidak terlepas dari uang sehingga kunci peradilan ada di tangan mereka sendiri. Keadilan menjadi barang yang sangat mahal untuk maling kecil dan sangat murah untuk maling
No comments:
Post a Comment