Konon, predikat negara hukum hendak dilekatkan sebagai karakter negeri ini, terbukti Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 pasca-amendemen memindahkan istilah negara hukum (rechtstaat), yang dalam naskah asli hanya tercantum dalam Penjelasan UUD, menjadi bagian dari Batang Tubuh UUD 1945. Penempatan istilah negara hukum ke dalam Batang Tubuh UUD tentunya tidak hanya bermakna simbolis, tetapi dimaksudkan untuk menjadi suatu forma-formarum, artinya menjadi keseluruhan bangunan organisasi dari sebuah negara.
Berbagai kekerasan psikis maupun fisik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang menindas sesamanya yang lebih lemah dalam skala jumlah dan kekuatan masih dipraktekkan di berbagai ruang sosial di negeri yang konstitusinya mendeklarasikan dirinya sebagai negara hukum ini. Berbagai peristiwa paket bom dan kekerasan fisik, politik, dan administratif terhadap minoritas tak urung juga telah mengkonstruksikan citra bahwa di negeri ini masih ada pihak yang ingin melanggengkan politik anarkisme.
Tak jarang di saat lain, (aparat) negara pun tak beda jauh, kekerasan struktural sering dilakukan terhadap mahasiswa, demonstran, pedagang kaki lima, gelandangan/pengemis, dan lain-lain. Kekerasan negara biasanya dilakukan dengan menggunakan kekuasaannya yang mendominasi penggunaan sumber daya publik mengatasnamakan klaim sepihak kepentingan umum (public interests) yang rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dengan selubuk diskresi (discretionary power).
Paradigma yang mendasari UUD 1945 pun sebenarnya juga tak beda jauh dengan berbagai negara yang ada dalam tipologi negara kesejahteraan (welfare state), yaitu negara yang dituntut untuk berperan aktif dalam mengatur dan menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya. Negara yang proaktif tidak terpisahkan eksistensinya dari rakyatnya (staatsbemoienis), karena negara kesejahteraan seharusnya merepresentasikan sosok “bapak yang bijak dan penuh kebaikan”(wise and benevolent father) dan mengetahui apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya. Jika paradigma negara kesejahteraan itu diuji kesahihannya dalam realitas, terlihat masih jauh panggang dari api. Negara justru tak terlihat hadir dalam setiap kesulitan yang dihadapi rakyatnya. Alhasil, alih-alih merealisasi paham negara kesejahteraan, negara justru terlihat mempraktekkan apa yang disebut oleh filsuf Niezsche sebagai nihilisme pasif. Negara dikesankan melakukan pembiaran terhadap terjadinya kekerasan dan kesulitan ekonomi rakyatnya di mana-mana. Negara tidak menolak nihilisme karena membiarkan nilai-nilai dan makna tertinggi yang terkandung dalam spirit konstitusinya runtuh. Keanekaragaman yang selama ini konon hidup di negeri ini telah digantikan dengan anarkisme. Konstitusi, yang pembukaannya secara utuh mempertahankan Pancasila, ternyata dalam praksis mengalami dekontekstualisasi dan diskontekstualisasi (discontextualization). Meskipun Mahkamah Konstitusi pada sisi atas menjaga konstitusionalisme produk undang-undang, pada sisi bawah berbagai praktek kehidupan berbangsa dan bernegara justru telah menegasikan dan mengingkari kontrak politik yang terkandung dalam konstitusi. Akibatnya, konstitusi tak lagi sahih secara sosial meskipun dalam bangunan formal terlihat masih utuh.
Faktor kepemimpinan yang dipraktekkan oleh berbagai elite politik di negeri ini seharusnya memberi keteladanan bagi rakyat, namun rakyat kian mengalami disorientasi nilai karena tak lagi memiliki panutan. Aparat penegak hukum pada level pelaksana di bawah kian kehilangan kepercayaan diri karena tak memperoleh tuntunan dari struktur kepemimpinan yang kehilangan jati diri di tengah bangunan kelembagaan hukum yang korup dan rapuh. Hukum yang ditegakkan oleh lembaga yang rapuh dan korup menyebabkan hukum tak efektif lagi sebagai sebuah norma sosial (norma-normarum) karena di dalamnya sarat dengan pertentangan nilai dan saling menderogasi.
Anarkisme merujuk pada sebuah kondisi chaos atau bekerjanya sebuah sistem secara tak beraturan. Negara yang subsistem di dalamnya tak mampu membangun sebuah sinergi sehingga menjadi sistem yang bekerja dengan efektif akan menjadikannya sebuah negara anarki. Hukum seharusnya mampu menjadi perekat sistem melalui karakter normatif yang dimilikinya. Artinya, hukum dengan sistem sanksi yang dimilikinya seharusnya mampu menjaga bekerjanya sistem dalam negara untuk mewujudkan tujuannya yang tak lain adalah mewujudkan kesejahteraan umum (bonnum commune). Negara yang gagal adalah negara yang mengalami disorientasi dalam upaya mewujudkan tujuannya tersebut.
Menghentikan aksi anarkisme tak hanya berhenti dengan membubarkan organisasi masyarakat (ormas) yang dituduh menjadi pencetus kekerasan massa, jika pemerintah memang secara konsisten mematuhi pidato Presiden SBY pascakerusuhan Cikeusik dan Temanggung yang lalu yang menghendaki agar pemerintah mencari jalan legal bagi pembubaran ormas-ormas anarkistis. Pembentukan detasemen anti-anarkisme harus diikuti dengan upaya melakukan transformasi habitus publik yang lebih menyemai nilai-nilai keadaban publik, toleransi, memahami perbedaan dan nilai-nilai humanisme. Pada level elite, hal itu harus dimulai dengan tidak hanya sekadar melakukan restrukturisasi organisasi atau kelembagaan kuasa negara, tetapi juga restrukturisasi sikap moral dalam mengemban amanah jabatan. Penegakan hukum di negeri ini hanya akan terlihat banal dan menjadi pepesan kosong minim substansi keadilan jika anarkisme yang terjadi, baik di ranah elite maupun masyarakat, tidak segera dihentikan. Tentu, penegasan dalam konstitusi bahwa Indonesia adalah sebuah negara hukum di awal pembentukannya oleh para pendiri negara (the founding fathers) adalah sebuah visi besar hasil perenungan yang mendalam, bukan sekadar politik gincu atau aksesori konstitusi.,
No comments:
Post a Comment