Sunday, May 15, 2011

MAFIA HUKUM BUKAN PERSOALAN BARU



Ketidak kadilan sudah ada dimuka bumi ini sejak ber abad-abad yang lampau. Problem ini sudah menjadi perhatian serius para pejuang untuk tegaknya keadilan sejak pada masa advocatus di Romawi dahulu. Advocatus selalu memberikan pembelaan terhadap warga yang didakwa melanggar perintah raja. Dan pembelaan yang diberikan oleh Acvocatus semata-mata hanya demi keadilan bukan untuk tujuan yang lain.
Pada masa itu raja memang memiliki otoritas yang sangat besar bahkan keberadaanya dipandang sebagai pelaksana titah Tuhan, sehingga raja bisa memutuskan apa saja yang ia kehendaki. Mekipun itu bertentangan dengan rasa keadilan umum.
Fenomena mengenai praktek mafia hukum bukanlah persoalan yang dihadapi jaman abad 20 ini, masalah hakim tidak adil, hakim di suap juga bukan merupakan persoalan khas Indonesia semata. Jika kita berkunjung ke kota Brugues ( Belgia) kita akan saksikan lukisan yang dibuat oleh pelukis Gerar David pada tahun 1498. lukisan itu sengaja dipajang, dimaksudkan sebagai monumen peringatan bagi para hakim dan penegak hukum agar berlaku adil dalam menegakkan hukum. Lukisan itu menggambarkan Hakim yang bernama Sisamnes telah menerima suap dan karena itu dihukum mati oleh Raja Cambyses.
Anthony Hold dan March Lot mengatakan “ behind the mask of the judge we still meet a human being.This human being needs to be remended constantly of the essential values of independence and impartialy.”
Permasalah system peradilan di Indonesia telah dibicarakan juga jauh sebelum masa atau era reformasi 1998, tokoh-tokoh seperti Yap Thiam Hien, Suardi Tasrif, dan Harjono Tjirtosubono, telah mensinyalir adanya “mafia peradilan”. Akan tetapi peradilan selalu melakukan pembelaan diri dengan mengatakan bahwa itu merupakan “ulah oknum”. Dan kalimat itu selalu berulang diucapkan manakala terungkap praktik mafia hukum di setiap institusi penegak hukum. Pembelaan semacam ini menjadi hambatan reformasi penegakkan hukum di Indonesia. Praktik mafia hukum telah merubah ruang untuk mencari keadilan menjadi sempit dan seolah hanya tersedia untuk mereka kaum berduit. Proses penyelesaian perkara seolah berubah menjadi “ penawaran lelang” siapa yang menawar dengan harga paling tinggi dialah yang akan dimenangkan.
Prof. Mochtar Kusumaatmadja pernah menyebut keadaan ini dengan istilah “ desperate but not hopeless,” sementara Prof. Mardjono Reksodiputro, menyebut keadaan seperti ini dengan mengibaratkan “ system penegakkan hukum kita seperti orang sakit yang sudah harus masuk ke dalam ICU (intensive care unit).” Ceritra diatas menunjukkan bahwa pratek mafia hukum bukanlah persoalan baru, melainkan sudah terwaris sejak lama yang sampai dengan saat ini belum ditemukan solusinya.

No comments: