Sunday, May 15, 2011

SEKOLAH MEMANG MAHAL


Tema pembicaraan dengan teman-teman dalam minggu pertama anak kembali ke sekolah adalah seputar keluhan mahalnya biaya sekolah. Seorang teman pusing dengan uang pendaftaran anak bungsunya di salah satu TK swasta yang mendekati Rp5 jutaan. Seorang ibu bertanya, mengapa anaknya mendaftar di SD negeri yang katanya gratis tapi tetap membayar hampir Rp2 jutaan?
Teman lain yang seharusnya bangga karena anaknya lolos di SMA Negeri unggulan, kini stres karena pada pendaftaran awal harus membayar hampir Rp5 jutaan. Padahal teman-teman yang mengeluh ini adalah keluarga ekonomi menengah ke atas. Bagaimana dengan keluarga miskin? Betulkah sekolah itu mahal? Sekolah memang mahal karena ada kebutuhan riil akan sarana dan prasarana yang berkualitas untuk mendukung proses pembelajaran. Kalau saja pemerintah sudah mengalokasikan 20 persen dari APBN untuk anggaran pendidikan sesuai amanat konstitusi, mungkin saja biaya pendidikan yang mahal akan berkurang. Namun mewujudkannya bukanlah hal mudah, dan bisa saja menjadi sumber masalah baru. Kenaikan anggaran biasanya diikuti fenomena inefisiensi, inefektivitas, bahkan korupsi dengan modus baru. Kecuali, kenaikan anggaran pendidikan diikuti dengan sistem anggaran yang berpihak pada kepentingan publik, misalnya dalam prinsip alokasi, distribusi, pengawasan, dan akuntabilitas yang tinggi. Wapres RI, HM Jusuf Kalla, bulan lalu dalam dialog dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi se Indonesia yang diselenggarakan melalui teleconference di Unhas, mengatakan bahwa anggaran pendidikan adalah alokasi yang terbesar dari anggaran lainnya. Tahun ini mencapai lebih dari Rp40 triliun, naik hampir 100 persen dari tahun 2005, walaupun secara persentase hanya sekitar 11 persenan dari APBN. Menurut beliau, untuk mencapai 20 persen harus bertahap, pemerintah bisa saja melakukannya dengan segera, tetapi akan dilematis, karena sarana pendidikan akan baik namun sarana lain buruk, misalnya jembatan rusak, jalanan rusak, dan sarana kesehatan minim.

Haruskah sekolah itu gratis? Sebenarnya yang namanya gratis itu tidak ada, karena bagaimana pun pendidikan tetap memerlukan dana. Apa yang terjadi di Arab Saudi, Jerman atau Brunei adalah bukan pendidikan gratis, tetapi beban pembiayaan ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah karena didukung oleh kelompok mampu melalui intensifikasi pajak. Di Malaysia, di mana dana pendidikannya adalah 40 persen dari anggaran pembelanjaan, pemerintah masih belum bisa menanggung biaya pendidikan sepenuhnya. Nah, kalau ada kandidat dalam pilkada berjanji untuk pendidikan gratis, saya kira itu baru retorika politik belaka!

Bagaimana membuat biaya sekolah menjadi murah? Harusnya beban besar pemerintah di-sharing dengan pengusaha kaya melalui intensifikasi pajak. Harusnya pula ada gerakan dari keluarga mampu memberi beasiswa bagi keluarga miskin di sekitarnya. Konsep tentang anak asuh tampaknya belum menjadi social movement di negeri ini. Perlu ada push yang kuat dari pemerintah terhadap masyarakat dengan cara menjadikannya suatu kewajiban. Misalnya, para pejabat publik dan politisi yang diharuskan mendaftar kekayaannya, juga harus mendaftarkan berapa banyak anak asuhnya. Setiap perusahaan swasta besar dikenakan standar jumlah pemberian beasiswa pendidikan bagi keluarga miskin. Setiap calon pembeli rumah, apartemen, atau mobil mewah harus melengkapi laporan jumlah anak asuhnya. Selain itu, setiap tahun secara periodik diberikan award bagi pihak yang memiliki anak asuh terbanyak. Dan masih banyak cara lain bisa dilakukan untuk membuat biaya sekolah tidak mahal, terutama bagi keluarga miskin.

No comments: