Suharto adalah diktator yang berhasil. Apa boleh buat, dari satu iklim politik yang suka latah seperti sekarang, saya terpaksa mencatatnya begitu. Kepergiannya kemarin diiringi liputan media massa luar biasa, on the spot, menit per menit. Kentara sekali jika obituariumnya telah selesai ditulis, atau direkam, jauh hari sebelum bekas penguasa rezim Orde Baru itu meninggal dunia.
Media massa, meski tak semua, menghadirkan liputan kematiannya bak sebait ode bagi seorang sarat tanda jasa. Satu stasiun televisi bahkan memutar kembali riwayat hidupnya dengan iringan lagu Gugur Bunga. Terkesan pada kita Suharto seperti seorang pahlawan besar yang tamat berlaga di medan perang. Tapi bagi saya, lagu itu justru menyeret ke arah komplikasi sejarah, dan juga hari depan politik Indonesia. Satu momen yang tiba-tiba membuat saya terlempar ke masa sepuluh tahun silam.
Dari sudut sel gelap tempat saya ditahan aparat keamanan Orde Baru, sayup-sayup terdengar lagu Gugur Bunga menyayat. Hari-hari di bulan Mei 1998. Dari radio transistor penjaga sel, telinga saya menangkap berita tiga mahasiswa ditembak mati di Universitas Trisakti. Mereka jadi martir gerakan mahasiswa prodemokrasi dan rakyat yang tak percaya lagi dengan rezim Orde Baru. Saya dan kawan-kawan mahasiswa yang diculik, lalu ditahan itu, yakin inilah orkes pembuka bagi tumbangnya kediktatoran. Sepekan kemudian, Suharto mundur. Lakon Indonesia yang hamil tua itu akhirnya usai. Orde politik baru telah lahir.
Tapi, rupanya perubahan tak selalu menghasilkan kemurnian. Ratusan ribu mahasiswa hari itu bermimpi rakyatlah yang menang. Lalu, pemerintahan baru bisa membawa cita-cita tentang Indonesia yang makmur dan adil, yang bebas represi dari tentara bangsanya sendiri. Demokratis dan bermartabat. Pokoknya semua hal normatif, dan kini terdengar naif. Sepuluh tahun terakhir kita mencatat, bahwa Suharto adalah "sang tak tersentuh". Semangat menumbangkan sang diktator satu dekade silam, kini hampir sama kencangnya dengan gairah merayakannya kembali sebagai pahlawan.
Apa boleh buat. Mimpi reformasi itu pun kini hanya sepertiganya berhasil. Memang, ada kelegaan bahwa politik kini sudah menjadi urusan sipil. TNI dengan besar hati kembali menjadi militer profesional. Pers boleh bebas bicara, dan partai politik tumbuh seperti jamur. Ekonomi relatif lebih baik, meski banyak yang mengigau bahwa zaman Suharto jauh lebih enak. Tak soal. Mungkin mereka dari kaum yang memilih perut kenyang, tapi rela jika bermimpi pun dilarang.
Tetapi, sebagai bekas penguasa satu rezim terpanjang dalam sejarah republik Indonesia--mengalah kan Sukarno pendahulunya, Suharto adalah produser sekaligus produk dari satu tradisi politik yang berbahaya bagi demokrasi. Dia percaya rakyat tak butuh demokrasi, karena pemimpin tahu segalanya. Pancasila dipermak menjadi mantra menghidupkan kembali negara organis gaya fasisme Jepang. Suharto, dengan patrimonialisme yang ditanamkan pada pengikutnya, menjelma menjadi struktur otoriter itu sendiri. Dia tak cukup lagi dilihat sebagai pribadi. Kekuasaan otoriter, oligarki ekonomi bertopang kronisme, tradisi politik asal bapak senang, wadah tunggal, penangkapan kaum oposan dengan brutal, agaknya telah menjadi bagian dari "Suhartoisme" .
Di tengah politik Indonesia yang kian liberal hari ini, ajaran itu mungkin mulai lapuk. Tapi toh, politik liberal itu juga membuat Suharto bisa menutup hari akhirnya dengan lebih terhormat. Nasibnya jelas lebih baik ketimbang koleganya bekas Presiden Filipina Ferdinand Marcos, yang digulingkan people power pada 1986. Hingga ajalnya tiba, Marcos sempat tak diizinkan pulang ke negerinya oleh penguasa baru hasil reformasi politik di sana. Di Korea Selatan, bekas presiden Chun Do Hwan, yang sebetulnya sulit disebut diktator ulung, tapi tersandung kasus korupsi. Dia akhirnya bersedia masuk bui. Chun lalu dikenang sebagai contoh moral politik bertanggungjawab dari bangsa Korea.
Perginya Suharto jelas meninggalkan warisan perkara publik yang belum tuntas. Bahkan, kita merasakan Suhartoisme seperti berdenyut kembali. Ketika dia sedang sakit berat pun, tiba-tiba segelintir elit politik melantunkan koor maaf, minta kejahatan politik dan ekonomi Suharto dihapuskan saja dari benak rakyat. Kita lalu seperti putus asa dengan hukum. Lebih parah lagi, kita lupa bahwa penyelesaian kasus Suharto adalah amanat reformasi, dan telah menjadi satu ketetapan di MPR RI.
Tentu, setelah Suharto pergi, warisan perkara itu menjadi beban negara, keluarganya dan juga masyarakat. Bagi negara, pintu rekonsiliasi bagi masa lalu lenyap sudah, padahal masih banyak perkara korban pelanggaran hak asasi manusia oleh rezim Orde Baru belum lagi tuntas.
Sepatutnya, saat Suharto minta maaf dulu, sewaktu dia turun, penguasa baru membawanya ke pengadilan. Mereka yang menjadi korban politik kejahatan atas kemanusiaan, dari tragedi 1965 sampai kasus Lampung, Aceh, Papua dan banyak lagi, bisa menemukan jawaban pasti secara legal dari negara. Kini, tentu pemerintah menjadi lebih sulit merebut kembali harta yang diselewengkan Suharto melalui berbagai yayasan. Atau mengeduk kembali timbunan uangnya di luar negeri, termasuk mengadili perannya dalam kasus BLBI yang macet itu.
Saya turut bersedih, bukan mengikuti anjuran berkabung nasional selama sepekan itu. Yang menyedihkan adalah kepergian Suharto dengan warisan perkara. Sebagai bangsa seakan kita telah gagal memberi contoh yang baik bagaimana menamatkan sebuah transisi dari rezim otoriter ke demokrasi. Tidak jelasnya status hukum Suharto sampai dia meninggal, adalah tragedi besar bagi reformasi politik dan hukum. Dia sekaligus pendidikan politik buruk bagi generasi penerus, seakan menjadi pemimpin berarti berhak menjadi yang "tak tersentuh".
Apa boleh buat. Suharto adalah diktator yang berhasil. Dia mungkin pergi dengan tenang. Tetapi rakyat yang mencatat kesalahannya, mungkin akan terus memburu keadilan dari siapa pun yang menjadi pewarisnya.
No comments:
Post a Comment