Dalam skala lebih besar, tradisi KKN semakin membudaya ketika VOC berkuasa di Hindia Belanda. Hal demikian banyak ditulis dalam buku-buku sejarah lokal dan sejarah kolonial. Misalnya karangan Huub de Jonge, Onghokham, dan B. Schrieke. Dalam hal pengangkatan bupati, misalnya, peran uang semakin terlihat. Sebelum kedatangan VOC biasanya di tanah Jawa pengangkatan bupati didasarkan atas tradisi keturunan atau pulung (wahyu kedaton).
Yang paling menentukan adalah kekuatan pribadi atau kewibawaan seorang calon, bukan uang. Namun pejabat-pejabat VOC tidak mengakui sepenuhnya asas yang turun-temurun itu. Pada 1770 mereka mulai mempertimbangkan masalah ekonomi dan politik dalam pengangkatan seorang bupati. Awal kebiasaan itu terjadi pada pengangkatan bupati-bupati di Madura. Para pejabat VOC beranggapan bahwa penggantian pejabat-pejabat pribumi bukan lagi monopoli bupati, tetapi merupakan hak VOC. VOC yang menentukan siapa yang harus diangkat.
Akibatnya sejak pertengahan kedua abad ke-18, pergantian kedudukan bupati sangat dikuasai oleh sistem penjualan jabatan. Siapa yang berani bayar tinggi, dialah yang diangkat. Pada masa itu bupati-bupati yang akan diangkat harus membayar komisi atau upeti kepada gubernur. Bupati pertama Semarang pernah ”ditodong” oleh VOC untuk membayar 50.000 ringgit.
Oleh karena itu tidak semua anak bupati otomatis langsung menjadi bupati untuk menggantikan ayahnya. Nic. Engelhard dalam memorinya tertanggal 15 April 1805 menulis, ”Pada waktu saya memangku jabatan baru (sebagai Gubernur Pantai Timur Laut Jawa), tidak henti-hentinya orang datang untuk meminta jabatan-jabatan tertentu seperti demang dan mantri di tempat ini atau di tempat itu dalam wilayah kekuasaan saya.
Mereka memberikan tawaran komisi sebesar 100 hingga 200 ringgit. Ada juga yang menawarkan 500 sampai 1.000 ringgit. Kepada saya mereka dengan sungguh-sungguh mengatakan bahwa hal semacam itu telah berlaku sejak bertahun-tahun sebelumnya.”Pejabat Pribumi Lebih Serakah Menurut Engelhard lagi, van Reede, pejabat baru yang digantikannya, telah mengangkat 16 bupati. Untuk itu dia memperoleh 15.000 sampai 25.000 ringgit setiap mengangkat satu orang.
Besar kecilnya komisi yang diberikan kepada gubernur itu tergantung pada kemampuan pejabat yang akan diangkat melalui proses tawar-menawar. Bahkan kalau ada jabatan lowong pada kabupaten-kabupaten tingkat pertama, komisi yang diminta bukan lagi 25.000 ringgit, melainkan 30.000 sampai 50.000 ringgit.
Sayangnya ulah para pejabat itu telah mengorbankan rakyat kecil dan petani. Sebab nantinya setelah diangkat, mereka harus berusaha keras selama bertahun-tahun untuk mengatasi utang-utangnya yang telah dipakai untuk memberikan komisi. Paling tidak, dia akan berusaha supaya uang komisi itu kembali selama dia memegang jabatan itu.Agar para gubernur tidak berlebihan dalam meminta komisi, pemerintah mulai mengatur besarnya komisi yang dianggap layak.
Daendels merupakan orang yang pertama kali mengatur ketentuan jumlah komisi. Untuk itu para bupati yang diangkat oleh gubernur harus membayar 10.000 sampai 20.000 piaster. Namun tidak semua pejabat VOC setuju dengan cara-cara seperti itu. Banyak pejabat tinggi mencela sistem komisi dalam pengangkatan bupati yang berlebihan dan dianggap terlalu besar. Barangkali karena cara itu sudah membudaya, mereka tidak terang-terangan menolak sistem komisi itu.
Meskipun pada prinsipnya banyak pejabat mencela sistem pengangkatan bupati yang meminta begitu banyak biaya dari penduduk pantai timur laut Jawa, dalam memorinya tanggal 10 Oktober 1802 van Hogendorp berpendapat bahwa kebiasaan itu tidak seharusnya dihapus sama sekali. Alasannya, orang kecil tidak boleh terlalu bebas. Kalau kebiasaan itu dihapus akan menggugah mereka (para pejabat) untuk menyalahgunakan wewenangnya.
Tradisi menerima suap atau komisi ternyata tidak hanya terjadi pada pejabat-pejabat Belanda. Siapa bilang para pejabat pribumi tidak doyan duit? Justru mereka lebih serakah daripada meneer-meneer tadi. Puncaknya terjadi ketika sistem tanam paksa diberlakukan di sini (1830-1870).
Efek Domino
Dua masalah pokok dalam sistem tanam paksa adalah tanah dan tenaga kerja. Untuk itu pemerintah Belanda menuntut para bupati agar menyediakan kedua hal tersebut. Sebagai imbalannya, pemerintah memberikan rangsangan berupa persentase (kulture procenten).
Besar kecilnya persentase tergantung pada hasil kerja bupati.Bupati memberikan lagi persentase itu kepada para pangreh praja dan lurah. Di samping itu mereka tetap menerima gaji resmi dari pemerintah. Gaji mereka memang kecil, tapi sabetan mereka lumayan besar.
Karena sistem itulah sistem Tanam Paksa bertahan cukup lama.
Setelah Tanam Paksa dihapus, sistem persentase juga dihapus. Anehnya, meskipun dengan gaji kecil, para bupati, wedana, camat, dan lurah tetap bisa hidup dalam kemewahan. Setelah ditelusuri ternyata mereka tetap menerima (atau meminta?) uang pelicin dari masyarakat.
Sayang waktu itu belum ada perangkat hukum yang mengatur pembuktian terbalik. Karena para pejabat mempunyai kedudukan yang tinggi, akibatnya kesempatan mereka untuk mendapatkan keuntungan pribadi sangat luas. Sistem administrasi semacam itulah yang menyebabkan tumbuhnya tradisi KKN. Seperti efek domino, sambung-menyambung, dan terus berkembang hingga masa sekarang.
Meskipun ada gebrakan KPK, tampaknya ”tradisi warisan kolonial” itu sulit diberantas. Hanya ganti nama seperti money politic, uang semir, dan uang kebijaksanaan. Dan juga ganti sumber yang ditilep macam dana kompensasi BBM dan raskin. Dari pemerintah pusat sudah diberikan, tapi distribusinya ke masyarakat nyangkut di aparat desa. Demikian masalah yang sering terjadi. Ingin dipromosikan pada jabatan yang lebih tinggi? Ya, harus memberikan ”uang setoran” kepada pejabat tertentu. Itulah ”tradisi Indonesia”.