Polisi selalu identik dengan perangai egois dan semena-mena terhadap masyarakat. Aplagi mencuatnya kasus penembakan terhadap Solikin (seorang guru ngaji di Sidoarjo) hingga meninggal dunia. Polisi selalu menjadi bahan gunjingan masyarakat. Lebih mereka yang seringkali menggunakan jalan raya di perkotaan. Mulai dari asal tilang hingga asal gebuk tanpa pikir panjang.
Belakangan ini pihak kepolisian melalui media selalu menyatakan sikap akan berubah dan menjahui keburukan-keburukan dimasa lalu yang sudah kadung melekat dipikiran masyarakat. Tapi kenyataan dilapangan hal itu tidak berbanding lurus dengan apa yang digembar-gemborkan di media. Kekerasan demi kekeran yang melibatkan pihak kepolisian terus terjadi.
Bergbagai kasus kekerasan yang telah terjadi sebelumnya seakan tak pernah membuat polisi berevaluasi untuk memperbaiki diri. Dimana-mana masih saja terus terjadi kekerasan yang melibatkan pihak kepolisian. Parahnya lagi, hal itu tidak pernah tersentuh hukum. Kasus kekerasan itu hanya dianggap angin lalu. Intinya, masyarakat selalu menjadi korban keangkuhan polisi dan ketidakadilan hukum yang berlaku di Indonesia.
Kasus penimbakan yang dilakukan polisi terhadap guru ngaji (alm. Solikin) benar-benar diluar sifat kemanusiaan polisi yang selama ini berkampanye melindungi masayarakat. Selain tidak mengakui kesalahannya, pihak polisi juga menuduh almarhum melawan polisi dengan celurit. Lalu dimana sifat gentel sang polisi yang selalu membusungkan dada itu??? Tidak ada...!!!
Untuk saat ini, pihak kepolisian (mungkin) akan bersikap dingin terhadap masyarakat. Tapi lihatlah setelah waktu berjalan lagi, satu bulan atau bulan lagi. Kekerasan terhadap masyarakat yang tidak bersalah (sekalipun) oleh pihak polisi akan terulang lagi. Ini mengaca pada kasus-kasus sebelumnya. Polisi selalu bicara akan mengubah sifat-sifat buruknya itu. Tapi kenyatannya apa yang terjadi. Kekerasan demi kekerasan itu terus terjadi, seakan sudah menjadi kebiasaan buruk polisi kita.
No comments:
Post a Comment